Mengadu Nyawa demi Kilau Emas...

Written By bopuluh on Rabu, 12 Desember 2012 | 17.02

Mengadu Nyawa demi Kilau Emas...

Oleh: Herlambang Jaluardi dan Rony Ariyanto N

Tubuh Adkana (37) basah kuyup saat menghampiri Komandan Komando Distrik Militer 0266/Sukabumi Letnan Kolonel (Inf) Fifin Firmansyah di tepi Sungai Cipanengah, Kampung Cibongbong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Adkana baru menemukan kaus dan celana panjang yang terakhir kali dikenakan Opik (34).

Opik adalah petambang emas di Bukit Buleud, Kecamatan Cisolok, Sukabumi. Dia pun diduga menjadi korban, saat bukit itu longsor, Senin petang lalu. Hingga Rabu (12/12/2012), Opik masih dicari.

Firmansyah memerintahkan anak buahnya mencari Opik di titik penemuan pakaian itu. Adkana menemukan kaus coklat dan celana panjang hitam, yang diduga terakhir dipakai Opik, di bawah impitan batu di Sungai Cipanengah, di bawah alur longsor. Bersama puluhan warga Desa Cikadu, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Rangkasbitung, Banten, Adkana menceburkan diri ke sungai berarus deras itu demi mencari keberadaan kerabatnya, Opik dan Dana.

Namun, hingga Rabu petang hari ketiga pencarian, Opik dan Dana tak kunjung ditemukan. Padahal, tim pencari sudah diperkuat dengan penambahan personel menjadi sekitar 300 orang, dengan ahli dan peralatan panjat. Anjing pelacak dari Kepolisian Daerah Jawa Barat pun didatangkan.

Nyaris tegak lurus

Selain karena hujan dan kabut, kondisi bukit yang terjal menjadi salah satu kendala pencarian korban. Lereng Bukit Buleud nyaris tegak lurus. Petambang mencari pundi emas di lubang yang mereka gali di puncak bukit, dengan ketinggian sekitar 100 meter dari jalan raya.

Sungai Cipanengah, yang berhulu di Gunung Halimun dan bemuara di Laut Selatan, Samudra Indonesia, tepat berada di bawah liang-liang itu. Terpeleset sedikit saja, petambang pasti jatuh ke sungai dengan jeram curam dan batu besar.

Aktivitas penambangan emas tradisional itu terlihat dari jalan. Terpal plastik berwarna biru menaungi lubang berdiameter sekitar 1 meter. Biasanya, di mulut lubang itu, petambang beristirahat di "teras" kecil yang dibuat dari gundukan tanah. Saat longsor terjadi, korban sedang beristirahat di bawah terpal.

"Saat itu sedang hujan. Saya berteduh sehabis mencari bambu. Tiba-tiba dari bukit seberang saya mendengar suara gemuruh. Ternyata tanah longsor, dan menyeret petambang," kata Udin (52), pencari bambu di Bukit Engang, tepat di seberang Bukit Buleud.

Sejak itulah keriuhan mulai terjadi di Kampung Cibongbong, Sukabumi. Tentara, polisi, relawan, dan warga mencari korban. Adang (38), yang terlibat dalam pencarian itu, mengaku masih saudara sepupu Opik. Ia tinggal di desa yang sama dengan korban. Adang juga seorang petambang emas.

Turunkan batu

"Saya hanya sekali mencari emas di bukit sini. Biasanya saya menambang di Gunung Gombong, Kabupaten Rangkasbitung," kata bapak dua anak ini. Selain menambang di dua lokasi itu, Adang penah mencari emas di daerah Pasir Pongkor, Kabupaten Bogor, Jabar. Kualitas emas di tiga lokasi itu serupa.

Dalam satu hari, Adang bisa membawa turun 40 kilogram batu. Dari batu seberat itu, emas yang ia dapat berkisar 1 gram hingga 3 gram. Kalau kandungan emas bagus, mencapai 50 persen, harga jual ke penadah mencapai Rp 350.000/gram.

Agar bisa menambang di lokasi itu, Adang harus membeli tempat pada pemilik lahan. Untuk satu lubang, ia bisa membayar hingga Rp 3 juta. Cara lain, ia menambang pada lubang yang dimiliki orang lain. Hasil batu yang diperoleh dibagi rata dengan pemilik lubang.

Adang sudah puluhan tahun menjadi petambang. Menurut dia, hampir seluruh laki-laki dewasa di kampungnya, Kampung Cikadu, mencari emas di lokasi yang berbeda-beda. Ia mengenang, awal tahun 1983, beberapa warga Cikadu, Rangkasbitung mencari batu untuk membangun jalan di Pasir Pongkor. "Ternyata batu yang didapat itu mengandung emas. Sejak itulah, warga Cikadu menjadi pencari emas," kisahnya.

Meskipun demikian, Adang mengatakan, tak ada petambang emas di kampungnya yang "naik derajat", setidaknya menjadi pengepul emas. Hasil tambang itu mereka jual kepada pembeli di luar Cikadu. Setelah hasil menambang emas habis untuk kebutuhan sehari-hari, mereka kembali menggali lubang dan menantang maut. "Risikonya memang nyawa. Keluarga sudah paham," katanya lagi.

Kerawanan penambangan emas tradisional menjadi perhatian Bupati Sukabumi Sukmawijaya. Ia berencana menutup semua pertambangan tradisional di wilayahnya. Bukan kebetulan pula, lokasi tambang yang longsor berada di wilayah Kesepuhan Adat Cipta Mulya.

Sesepuh kesepuhan itu, Abah Hendrik Suhendri Wijaya, tidak setuju ada penambangan emas. "Tradisi di sini adalah pertanian. Jika terlibat pertambangan emas, warga menelantarkan sawahnya," ujarnya.


Anda sedang membaca artikel tentang

Mengadu Nyawa demi Kilau Emas...

Dengan url

http://chooseacolorfengshui.blogspot.com/2012/12/mengadu-nyawa-demi-kilau-emas.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Mengadu Nyawa demi Kilau Emas...

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Mengadu Nyawa demi Kilau Emas...

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger