Kami menunggu malam tiba. Mang Ending (62) mulai mempersiapkan alat-alat yang harus dibawa. Sederhana saja. Petromaks, senter, golok, dan ember. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Sebagian warga di Kampung Situsari, Desa Cipacing, Kecamatan Pager Ageng, Tasikmalaya, sudah terlelap dalam dingin malam. Bunyi jangkrik dan kodok sayup terbawa angin.
Petromaks pun dipompa. Wosh-wosh-wosh.... Bunyinya memecah keheningan. Alat penerangan ini sudah semakin sulit ditemukan. Generasi masa kini mungkin sudah tak mengenalnya, apalagi mengoperasikannya. Namun, Ending dengan cekatan memberi minyak, memompa, memperbaiki saringan, sampai akhirnya cahaya petromaks berpendar-pendar. Kami pun bersiap.
Langit yang tadi gulita mulai berbintang. Bulan samar memperlihatkan separuh sosoknya. Mang Ending menengadahkan wajah. "Moga-moga belutnya tidak ngumpet melihat cahaya bulan," kata Ending.
Belut memang makhluk unik. Menemukannya gampang-gampang susah. Jenis ikan ini hanya bisa ditemukan saat sawah dalam kondisi habis dibajak atau tanahnya siap ditanami (tandur). Belut juga paling senang hidup di dalam lumpur. Di desa-desa di Jawa Barat, tradisi berburu belut ini disebut ngobor, mungkin karena dahulu warga menggunakan obor sebagai alat penerangan.
Mengapa belut harus ditangkap malam hari dan mereka akan menghilang di kala bulan muncul? Ini tidak terkait takhayul, tapi memang merujuk pada kondisi fisik belut yang rentan. Belut merupakan satu-satunya jenis ikan yang tidak memiliki sisik ataupun sirip.
Padahal, sisik merupakan alat perlindungan ikan dan sirip memudahkan ikan berenang dengan cepat. Karena belut tidak memiliki keduanya, cara pertahanan dirinya adalah dengan berlindung di dalam lumpur yang pekat sehingga tidak dideteksi musuh-musuhnya. Itu sebabnya belut tidak pernah muncul di siang hari ataupun di saat terang bulan.
Malam makin larut, Ending perlahan meniti tanggul sempit, langkahnya dipandu bias petromaks. Sesekali kakinya turun ke dalam sawah, menjejak lumpur yang tingginya setengah betis. Goloknya mengorek-ngorek lumpur.
Ia menunjuk pada jejak-jejak di lumpur yang bentuknya memanjang. "Ini bekas jalan keluar belut," ujarnya. Jejak-jejak itu menuntun pada lumpur pekat yang menumpuk di rerumpunan. Di situlah belut-belut berlindung.
Ending termasuk salah satu pemburu belut andal. Di wilayah ini, perburuan belut bukan dengan cara ngobor semata, bisa juga dengan ngurek (memancing belut dengan tali kenur yang diberi kail).
Cara lain adalah menggunakan osom, yakni perangkap berbentuk bubu kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Osom yang diberi umpan cacing atau bancet (anak katak) dibenamkan ke sawah dan ditinggal pemiliknya. Keesokan harinya osom sudah penuh terisi belut yang terperangkap.Sambal belut
Pagi harinya, Bu Cucu (56), istri Ending, sudah bersiap di dapur. Belut-belut yang sudah dikumpulkan di ember direndam dengan daun jambu klutuk untuk menghilangkan bau anyir.
Satu demi satu belut hidup itu kemudian dibersihkan dan dipotong. Mereka yang belum terbiasa membersihkan belut mungkin agak kaget karena begitu dipotong, darah yang keluar lebih banyak dibandingkan ikan. Belut yang ukurannya lebih kecil biasanya lebih disukai karena rasanya lebih gurih.
Bumbu-bumbu pun sudah disiapkan. Ada jahe, kunyit, bawang merah dan putih, daun salam dan serai, juga ditambahi cengek (cabai rawit) dan daun kemangi. Semua dipotong kasar. Cucu lantas mengulek galendo dan dibalurkan pada belut-belut tersebut. Galendo adalah ampas dari godokan minyak kelapa.
"Punten, ambilkan daun salam beberapa lembar," kata Cucu. Ending pun melangkah keluar dari rumah dan memetik beberapa lembar daun dari pohon salam yang tumbuh di pekarangan rumah dan merambat sampai ke dekat daun pintu. Setelah tumpukan belut ditutup dengan daun salam, barulah seluruhnya dibungkus dengan daun pisang. Proses mais (memepes) pun dimulai.
Satu per satu bungkusan itu diletakkan langsung ke bara api dalam tungku dari tumpukan batu bata, yang biasa disebut hawu. Kadang keluarga ini memasak menggunakan hawu dengan memanfaatkan pohon kelapa, mulai dari daun kering, sabut, batok, hingga pelepahnya, juga ranting yang biasa dicari di kebun. Hawu diletakkan di luar rumah, di saung yang menempel ke rumah.
Sesekali Cucu meniup selongsong bambu ke arah tumpukan abu panas yang mematangkan pepes. Api pun membesar. Ia membolak-balik bungkusan-bungkusan belut dengan telaten. Sekitar tiga jam kemudian pepes tersebut siap disantap.Perburuan belut berhenti di saung yang berada di pinggir sawah. Nasi putih yang masih mengepul dihidangkan bersama pepes. Tentu saja pepes tak akan lengkap tanpa kehadiran sambal belut. Sambal ulek buatan Cucu akan membuat mata kita mengerjap-ngerjap. Rasa cabai yang menyengat bercampur dengan aroma segar dari daun kencur dan jahe.
Desir angin segar menerobos pojok-pojok saung. Dari kejauhan, rumpun padi yang kehijauan bergoyang perlahan, batangnya meliuk-liuk mengikuti arah angin. (MYR/PEP)
Editor : I Made Asdhiana
Anda sedang membaca artikel tentang
ââ¬ï¿½Ngoborââ¬ï¿½ dan Pais Belut
Dengan url
http://chooseacolorfengshui.blogspot.com/2013/08/aaingoboraai-dan-pais-belut.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
ââ¬ï¿½Ngoborââ¬ï¿½ dan Pais Belut
namun jangan lupa untuk meletakkan link
ââ¬ï¿½Ngoborââ¬ï¿½ dan Pais Belut
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar