Status Mencair di Warung

Written By bopuluh on Jumat, 25 Oktober 2013 | 18.02

STATUS sosial melebur di warung makan. Tidak ada gelas besar untuk pembesar. Apa pun latar belakang sosialnya, pengunjung mendapat gelas dengan ukuran dan bentuk yang sama. Begitulah, warung menjadi tempat di mana ikatan tradisi melonggar.

Warung Pallubasa Serigala di Jalan Serigala, Kota Makassar, ibarat persinggahan aneka manusia. Laki-laki bersafari, pengusaha bertubuh wangi, ibu-ibu yang baru pulang belanja, muda-mudi yang sedang kasmaran, dan rombongan keluarga tumplek blek di warung itu. Orang dengan berbagai latar belakang dan kelas sosial itu diperlakukan sama. Mereka harus berkompetisi untuk mendapatkan kursi.

Kadang, mereka harus antre di halaman warung yang sempit atau di sela-sela mobil yang diparkir di sisi jalan. Ada aturan tak tertulis di warung itu: pembeli yang datang duluan dilayani duluan. Tidak ada yang diistimewakan, tidak ada yang mendapatkan gelas lebih besar atau mangkuk dengan alas lebih banyak.

Standar pelayanan pun sama: pelayan menyajikan piring nasi ke meja dengan gerakan tergesa-gesa. Tidak ada senyum, tidak ada tegur sapa. Meski begitu, setiap hari orang datang menyantap pallubasa—semacam sup daging dengan kuah kuning dan serbuk kelapa sangrai—yang nikmat.

Di warung-warung yang terletak di sudut tempat pendaratan ikan Paotere, nelayan, pembeli ikan, dan punggawa (juragan ikan) juga harus berkompetisi untuk menyantap semangkuk pallubasa ikan lamuru. Mereka duduk di bangku panjang dan meja yang sama. Sehabis makan, mereka menikmati kopi dengan gelas berukuran sama.

"Di warung makan, status sosial melebur, ikatan sosial melonggar," ujar Tasripin Tahara, antropolog dari Universitas Hasanuddin.

Hal itu berbeda dengan acara makan di rumah atau di ajang pesta di mana acara makan menjadi momen pertunjukan status sosial. Di banyak rumah tangga Bugis-Makassar, misalnya, hierarki sosial terlihat di meja makan. Kepala keluarga atau pencari nafkah utama mendapatkan jatah gelas dan piring berukuran lebih besar serta lauk pilihan. Di pesta perkawinan, kaum bangsawan dan orang yang punya kekuasaan serta kekayaan mendapat piring makan dengan alas dua atau lebih.
Tradisi "nongkrong"

Karena ikatan tradisi melonggar di warung makan, orang Bugis-Makassar senang nongkrong di warung. "Meski sudah makan di rumah, mereka pasti menyempatkan diri makan coto, konro, atau sop saudara di warung. Saya juga begitu. Jam 10.00 sudah makan dua kali. Pertama di rumah, kedua makan coto di warung, ha-ha-ha," kata Tasripin.

Ya, warung menjadi magnet yang menarik orang untuk mampir. Baso Iwan (40) asal Gowa 3-4 kali seminggu makan di warung bersama keluarga atau teman. Sekali makan di warung paling banyak keluar uang Rp 500.000. "Tidak masalah keluar banyak uang, yang penting kita bisa sosialisasi," kata Baso yang berlangganan Coto Sungguminasa di Gowa.

Seperti di daerah-daerah lain di Nusantara, makan di warung buat orang Bugis-Makassar merupakan momen sosial. Tasripin melihat, ingatan orang Bugis-Makassar tentang hubungan sosial lebih mudah dipelihara lewat makanan. "Kalau tidak percaya, bayarilah makanan yang dimakan orang Bugis-Makassar yang baru Anda kenal. Dia akan menganggap Anda saudara. Kalau Anda bertemu lagi, dia akan berusaha menjamu Anda," kata Tasripin setengah berseloroh.

Hal itu pernah kami alami beberapa tahun lalu. Seorang Bugis yang baru kami kenal menjamu kami di rumahnya. Ia menyajikan berpiring-piring ikan bakar dan sekuali kepiting rebus lengkap dengan sambalnya. Hari berikutnya, ia menjamu coto, sop saudara, dan ikan bakar di beberapa warung.

"Orang Bugis-Makassar memang begitu. Tapi, saya ingatkan, jangan datang atau menginap lebih dari tiga hari berturut-turut. Nanti dia bisa terjerat utang lantaran harus menjamu Anda," kata budayawan Makassar, Asdar Muis, sambil terkekeh. Buat orang Bugis-Makassar, lanjut Asdar, lebih baik mati membawa utang daripada tidak bisa menjamu tamu.

Hubungan sosial di masyarakat Bugis-Makassar memang sering kali dibuka lewat makanan. "Menawarkan makanan berarti membuka hubungan dan memuliakan orang. Makanya, orang Bugis-Makassar akan tersinggung jika tamu tidak memakan yang mereka suguhkan sebab itu berarti penolakan hubungan," kata Yahya, antropolog Universitas Hasanuddin.

Tradisi nongkrong orang Bugis-Makassar itu menopang kelangsungan hidup warung yang bertebaran di mana-mana. Di Kota Makassar, setiap saat Anda ingin nongkrong, selalu ada warung yang buka. Tengah malam Anda lapar, Anda bisa makan coto, songkolo, atau ngupi di kedai yang buka 24 jam.

Anda hanya perlu ingat bahwa ada sejumlah kesepakatan tak tertulis yang mesti dipahami ketika nongkrong di warung makan. Kalau Anda mengajak orang makan di warung, berarti Anda yang harus membayar semua makanan yang dia makan. "Berani mengajak, berarti berani membayar," ujar Tasripin.

Selain itu, status sosial tidak melebur sempurna di warung makan. Orang-orang yang punya jabatan dan kekayaan lebih biasanya malu jika tidak membayari teman atau orang dekatnya. "Makanya, meski dia hanya minum segelas kopi, dia bisa keluar uang ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah sebab dia harus membayari biaya makan-minum, bahkan utang teman-temannya di warung. Tapi, kalau uangnya tidak cukup, dia bisa minta maaf dan bilang terus terang," kata Asdar.

Satu aturan lain adalah siapa yang beranjak dari kursi duluan dan keluar dari warung, dia harus membayari makan-minum teman-temannya.

Nah, kalau tidak punya uang, jangan coba-coba angkat pantat dan pulang duluan. Lebih baik pulang belakangan menjelang warung tutup. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)

Editor : I Made Asdhiana


Anda sedang membaca artikel tentang

Status Mencair di Warung

Dengan url

http://chooseacolorfengshui.blogspot.com/2013/10/status-mencair-di-warung.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Status Mencair di Warung

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Status Mencair di Warung

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger