PERNAH menjadi tempat pelarian beragam suku bangsa, Pulau Penang kini menjadi salah satu tujuan wisata unggulan di Malaysia. Penopangnya adalah keberagaman bangsa-bangsa yang pernah berlindung padanya.
Riuh teriakan burung gagak menyambut saat kami berdua tiba di Bandar Udara Internasional Penang, medio September 2013. Tiba di pengujung hari membuat perjalanan sedikit menegangkan.
"Tenang saja, bus di sini sampai pukul 23.30 untuk semua jurusan," kata Jana yang kami temui tengah menunggu kedatangan bus 401 E jurusan Bandar Udara-Jetty, salah satu terminal bus di Penang.
Jana ternyata tenaga kerja Indonesia asal Medan, Sumatera Utara. Dua tahun sudah, dia tinggal di Penang. Pertemuan tak sengaja dengan orang Indonesia sering dialami Jana. Penang adalah tempat liburan murah sekaligus menyenangkan bagi orang Indonesia.
"Kalau saya beda. Bukan wisata, melainkan bekerja. Saya sudah dua tahun bekerja di perusahaan perakitan barang elektronik," ujar Jana.
Pengamat budaya Indonesia-Malaysia, Abdur Razzaq Lubis, dalam tulisan berjudul Orang-orang Indonesia di Pulau Penang mengatakan, Penang menjadi rumah bagi masyarakat yang tertindas. Masyarakat Tamil dari India selatan, orang Melayu dari Malaysia daratan, dan etnis Manchu dari China ikut datang. Mereka lari dari ancaman keamanan di negeri masing-masing. Saudagar Aceh juga mengunjungi Penang sebagai salah satu pelabuhan internasional setelah Sabang kehilangan pamornya.
Kehidupan di Penang ternyata jauh lebih nyaman. Para pendatang itu leluasa menjalankan adat dan keyakinan tanpa pertikaian. Permukiman, pusat peribadatan, hingga pusat perdagangan pun tumbuh subur dengan Georgetown sebagai ibu kotanya. Terus mempertahankan keaslian daerah, UNESCO menetapkan Georgetown sebagai kota warisan budaya dunia pada 2008.
"Di sini, semua suku bangsa bisa menikmati warisan budayanya masing-masing," kata Lubis.
Jejak peradaban
Memasuki Georgetown seperti melintasi Kota Tua di Jakarta versi terawat, bukan kusam durja. Matahari seperti di atas kepala. Panas. Ditiup kelembaban angin pantai membuat keringat mengucur deras. Namun, digoda jalan nan mulus dan lurus, saya memilih mengayuh sepeda mengelilingi Georgetown.
Gereja Saint George, yang dibuat sebagai penghargaan bagi Francis Light, pertama kali kami datangi. Letaknya sekitar 300 meter dari benteng terbesar di Penang, Fort Cornwallis.
Menerapkan gaya arsitektur Georgian Paladium, gereja ini sepertinya sengaja direncanakan dibangun megah dan bertahan lama. Biayanya 60.000 juta peso Spanyol atau seharga sama ketika Inggris membeli Singapura pada 1819. Keinginan itu berhasil.
Saint George kini masih menjadi gereja Anglikan tertua di Asia Tenggara dan digunakan untuk upacara keagamaan yang bertahan lebih lebih dari 200 tahun.
Warisan masyarakat India Selatan yang datang tak lama setelah Francis Light juga terlihat di kawasan Little India, 200 meter ke arah Jalan Queen. Gopuram (atap) berukir 38 orang suci Hindu membuat keberadaan Kuil Mahamariamman berusia 180 tahun (1833) sangat mencolok.
Terselip di antara toko rempah-rempah, perajin emas tradisional dan warung kaki lima yang menjajakan roti cane tidak menghalangi umat datang dan pergi setiap hari, mengharapkan berkat keselamatan dari Sri Mahamariamman yang dipercaya memberi kekuatan, harapan, dan kesejahteraan.
Seperti saudaranya dari India Selatan, etnis China memuja Dewi Kuan Yi sebagai pelindung. Sejak selesai dibangun kurun 1800-an, Kuil Goddes of Mercy terus menjadi tempat bersemayam patung Dewi Kuan Yi.
Patung setinggi orang dewasa itu terus dikunjungi umat hingga kini. Kuil yang dikelilingi para penjaja bunga warna kuning dan merah ini sayang jika dilewatkan.
Tak jauh dari sana berdiri kuil yang lain, Teochew. Dibangun pada 1855, Teochew yang kaya ukiran kayu dan dominasi warna merah emas menjadi salah satu alasan mengapa Georgetown dinobatkan sebagai Kota UNESCO. Konservasi tanpa mengubah bentuk asli juga berperan menghadirkan Award of the Merit UNESCO Asia-Pacific for Cultural Heritage Conservation ke pangkuan Georgetown.
Perpaduan antara India, Pakistan, Turki, dan Arab semakin lengkap saat mengunjungi Masjid Kapitan Keling yang dibangun pada 1801. Masjid ini terbesar dan paling bersejarah di Georgetown. Arsitekturnya bergaya mughal mirip Taj Mahal di India.
Keindahan arsitektur Penang bahkan menarik hati sineas film Hollywood. Kesulitan mengambil gambar di Thailand, pembuatan film Anna and the King yang dibintangi Jodie Foster dan Chow Yun Fat mengambil peran di Jalan Armenian, Balai Kota Penang, Pelabuhan Penang, dan Kuil Khoo Kongsi. Selain Penang, pengambilan gambar film yang dinominasikan sebagai best art director dalam Academy Award 1999 ini dilakukan juga di Negara Bagian Ipoh dan Perak.
Cerdik
Hanya berkaus dalam dan celana pendek, Chew (60) menawarkan minuman sari pala dingin buatannya sendiri kepada wisatawan yang melintas di depan rumahnya, kawasan Pelabuhan Weld Quay. Panas terik di sekitar pelabuhan membuat minuman sari pala dan es jeli miliknya lekas habis diserbu pembeli.
"Dulu kakek dan ayah saya nelayan. Tapi setelah ikan sulit dipancing, saya beralih menjadi pedagang minuman. Keuntungannya lumayan karena setiap hari selalu saja ada wisatawan yang datang," katanya.
Wisata di Weld Quay adalah salah satu kecerdikan Penang memanfaatkan keadaan. Weld Quay adalah rumah bagi sembilan klan pionir etnis Cina yang tiba di Penang. Ratusan tahun lalu, mereka berprofesi sebagai nelayan, pedagang, dan buruh pelabuhan.
Namun, saat ikan semakin sulit ditangkap, perkampungan Weld Quay diubah menjadi kampung wisata. Cara hidup mereka yang tinggal seperti terapung di lautan di atas papan kayu dijual sebagai potensi wisata budaya. Cara itu cukup ampuh mencegah eksodus warga ke luar kampung untuk hidup yang lebih baik.
Promosi yang sama dilakukan dengan mempertahankan kerajinan pembuatan papan nama China. Salah satu perajinnya ada di Jalan Queen, tidak jauh dari Kuil Teochew. Pada restorasi terakhir 2008, beberapa karya ukiran papan nama Kuil Teochew dibuat di sana. Hal sama dilakukan dengan mempertahankan kerajinan emas etnis India dan songkok Arab.
"Indonesia bisa mencontoh promosi seperti ini. Ada ratusan suku bangsa dengan kekhasan masing-masing yang hidup di Indonesia," ujar seorang rekan wisatawan asal Indonesia.
Namun, keindahan Penang bukan hanya Georgetown. Penang punya tawaran wisata alam yang sayang dilewatkan. Salah satunya Taman Kupu-kupu di Kawasan Batu Lawang, sekitar 30 kilometer dari Georgetown. Slogan "Taman Kupu-kupu Pertama di Dunia" jelas mengundang penasaran.
Di tempat yang didirikan pada 1986 ini, pengunjung bisa bercengkerama dengan 3.000 ekor dari 50 spesies kupu-kupu. Kupu-kupu beterbangan hingga hinggap di kepala pengunjung adalah hal biasa. Beberapa di antaranya bahkan kupu-kupu langka dan hampir punah, seperti Trogonoptera brookiana dan Helena Triodes.
Pantai Batu Ferringhi yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Taman Kupu-kupu juga bisa menjadi alternatif menutup hari bersama matahari terbenam di Malaysia. Penataan pantai berpasir putih cukup mengesankan. Pengunjung tidak perlu mengeluarkan tiket masuk kawasan pantai.
Minim pedagang kaki lima dan pantai bersih yang pernah menjadi tempat pendaratan Portugis ini bisa jadi unggulan. Atraksi menikmati olahraga air juga bisa menjadi pembunuh waktu menunggu matahari terbenam.
"Ayo Bang, ada sewa parasut, perahu pisang (banana boat), hingga mengendarai speedboat dengan tarif 50-150 ringgit Malaysia. Untuk kenang-kenangan," kata Burhanudin, salah seorang beach boy di Batu Ferringhi.
Teknologi
Dari balik jendela bus 204 jurusan Kompleks Tun Abdul Razak-Penang Hill, pagoda emas, dan patung Dewi Kuan Yi dari perunggu terlihat begitu mencolok di tengah hijaunya perbukitan Air Itam. Di sebelah timur, Bukit Bendera Penang Hill di ketinggian 883 meter di atas permukaan laut juga seperti tidak sabar menanti kedatangan kami. Ia seperti memanggil-manggil agar kami segera bisa menikmati pemandangan indah dari puncak tertinggi di Penang itu.
Mengunjungi kesunyian pagoda dan megahnya patung Kuan Yi setinggi 30,5 meter tentu memberikan pengalaman baru. Namun, bukan hanya itu yang menarik perhatian saya. Justru niat Pemerintah Malaysia menggabungkan teknologi dengan daerah tujuan wisata yang membuat penasaran.
Tidak mau melihat pengujung bersusah payah mendaki menuju ketinggian, kereta listrik naik-turun bukit setiap 10 menit sekali. Dibangun dengan dana jutaan dollar AS, pengelola Penang Hill merasakan benar manfaatnya. Ribuan wisatawan asing rela membayar 30 ringgit Malaysia naik kereta untuk melihat lanskap Pulau Penang yang lebih sering tertutup kabut tipis.
Kereta serupa ada di Kuil Kek Lok Si. Kereta listrik dibuat dari bangunan ruang doa utama menuju patung perunggu Kuan Yi. Hanya berjarak sekitar 50 meter dengan kemiringan sekitar 30 derajat, kereta ini menjadi sensasi menarik karena berada di dalam kompleks kuil berusia lebih dari 200 tahun. Setiap pengunjung harus merogoh kocek 7,5 ringgit Malaysia per orang. Melihat hal itu bisa diterapkan di Indonesia dalam waktu dekat sepertinya hanya mimpi.
Penang memberikan pengalaman baru meski sukses memberikan "duri" saat melihat pengelolaan kawasan yang sangat baik. Tidak sekadar melengkapi kawasan wisata dengan teknologi, pemeliharaan akar sejarah kawasan atau keahlian kuno tetap dipertahankan. Potensi wisatanya mungkin tidak seindah Indonesia, tetapi Penang tahu cara menjualnya semahal emas. (Cornelius Helmy Herlambang)
Sumber : Kompas Ekstra
Editor : I Made Asdhiana